Dwi Hartoyo: Masyarakat Harus Paham Aturan Wali Nikah, Jangan Lagi Asal Nikah Tanpa Wali

banner 468x60

Edukasi pagi sambil ngopi ☕

Lampung  —  Dwi Hartoyo mengingatkan masyarakat bahwa hingga hari ini masih banyak praktik pernikahan yang dilakukan tanpa pemahaman hukum, mulai dari nikah sirri, nikah “sari’i”, hingga akad yang dilakukan tanpa wali yang sah. Menurutnya, pola ini muncul karena alasan-alasan keliru seperti mengaku tidak punya wali, wali jauh, atau demi mempermudah proses pernikahan.

“Padahal, keberadaan wali adalah rukun nikah. Tanpa wali, akad itu tidak sah baik secara agama maupun negara,” tegas Dwi Hartoyo. Kamis, 20/11/2025 pagi.

 

Ia menjelaskan bahwa syariat Islam sudah mengatur rukun pernikahan dengan sangat jelas. Wali nasab seperti ayah, kakek, atau saudara laki-laki adalah pihak utama yang menikahkan calon mempelai perempuan. Namun jika dalam kondisi tertentu wali nasab tidak ada, tidak memenuhi syarat, atau berhalangan, Islam dan negara menyediakan mekanisme resmi, yaitu melalui Wali Hakim.

 

Wali Hakim Sudah Diatur Syariat dan Negara

Menurut Dwi Hartoyo, masyarakat sering salah memahami seolah-olah wali dapat digantikan oleh siapa saja. Padahal, Rasulullah SAW bersabda:

“Penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali.” (HR. Ahmad)

 

Dalam konteks Indonesia, yang dimaksud “penguasa” adalah negara melalui sistem KUA. Kompilasi Hukum Islam dan PMA Nomor 30 Tahun 2024 menjelaskan bahwa Wali Hakim adalah penghulu atau Kepala KUA yang ditunjuk secara resmi.

“Bukan ustaz sembarangan, bukan tokoh masyarakat, bukan wali dadakan. Wali Hakim itu hadir sebagai perwakilan negara yang sah,” kata Dwi Hartoyo.

 

Enam Kondisi Sah Menggunakan Wali Hakim

Dwi Hartoyo menerangkan bahwa Wali Hakim tidak boleh dipakai sembarangan. Ada enam kondisi yang membolehkan, yaitu:

 

1. Wali nasab tidak ada.

2. Wali adhal (menolak tanpa alasan syar’i dan sudah ada putusan Pengadilan Agama).

3. Wali tidak diketahui keberadaannya.

4. Wali tidak dapat dihadirkan.

5. Wali berbeda agama.

6. Wali adalah calon suami itu sendiri (dalam kasus pernikahan tertentu seperti sepupu).

“Kalau tidak masuk enam kondisi itu, tidak boleh memakai Wali Hakim. Inilah pentingnya bertanya langsung ke KUA, bukan mengarang-alasan agar bisa menikah cepat,” ujar Hartoyo.

 

Edukasi untuk Menghindari Nikah Ilegal dan Merugikan Perempuan

Dwi Hartoyo menilai bahwa minimnya pengetahuan menyebabkan sebagian masyarakat asal melakukan akad nikah tanpa memperhatikan rukun dan keabsahannya. Praktik seperti nikah sembunyi-sembunyi, nikah tanpa wali sah, hingga menggunakan wali palsu sangat merugikan perempuan dan anak.

“Akibatnya fatal: pernikahan tidak sah, tidak tercatat, hak perempuan hilang, dan anak tidak terlindungi secara hukum. Ini harus dihentikan,” tegasnya.

 

Karena itu, ia mendorong masyarakat untuk mematuhi aturan agama dan perundang-undangan, datang ke KUA, dan berkonsultasi jika ada kendala wali.

 

Pesan Penutup Dwi Hartoyo

“Nikah itu ibadah. Jangan dibuat main-main. Kalau wali nasab tidak memungkinkan, negara sudah menyediakan jalan syar’i, yaitu Wali Hakim. Mari kita sama-sama belajar, mematuhi aturan, dan memastikan setiap pernikahan sah menurut agama dan negara.”

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *