Banyuwangi, Senin (20/11/2023) – Dalam dunia yang semakin modern ini, persaingan antara orang-orang yang masih memegang teguh prinsip-prinsip idealis dengan mereka yang memiliki sikap pragmatis tetap ada dan nyata.
Orang-orang idealis, meskipun seringkali dianggap naif dan tidak realistis, sebenarnya memiliki keinginan yang luhur untuk membawa perubahan positif. Mereka melihat dunia dengan pandangan yang lebih luas, dan mampu menginspirasi orang lain dengan solusi kreatif. Orang Idealis dapat menjadi sukarelawan yang selalu berupaya bagi lingkungan sekitarnya, dengan harapan dapat meningkatkan kualitas hidup semua orang.
Pada sisi lain, para pragmatis cenderung fokus pada hasil yang cepat dan praktis, bahkan kadang tidak melalui upaya serta proses yang harus dijalani. Seringkali, mereka hanya berpikir tentang keuntungan pribadinya atau kelompoknya.
Dalam konteks pemerintahan disuatu daerah, kedua kepribadian ini juga muncul di antara para aktifis dan media.
Ketika pragmatisisme ini berhubungan dengan Pemerintah, maka akan ada persaingan antara idealis dengan pragmatis .
Di era digital yang semakin maju sekarang ini, membuat akses informasi dan berita semakin cepat. Akan tetapi, ada risiko di baliknya yang disebut “post-truth”, yakni suatu informasi yang dimaksudkan untuk dapat memanipulasi opini dan penilaian masyarakat.
Sejatinya, tugas pemerintah adalah untuk mensejahterakan masyarakat dengan cara merencanakan dan melaksanakan program pembangunan dengan adil dan transparan. Namun, sayangnya, pemerintah juga rentan terjerumus dalam konflik kepentingan. Terkadang, kekuasaannya disalahgunakan dengan memprioritaskan kelompoknya atau kepentingan pribadinya.
Dalam kondisi demikian, orang-orang idealis seringkali mengkritisi pemerintah saat menemukan kejanggalan di pemerintahan, seperti adanya dugaan korupsi. Tindakan ini tentunya berdampak rasa ketidaknyamanan bagi pemerintah. Ironisnya, orang-orang yang masih teguh pada prinsip idealismenya ini, seringkali dianggap sebagai provokator atau bahkan penghambat pembangunan.
Pada kesempatan ini, para pragmatis sering memanfaatkan situasi tersebut. Mereka berdiri sebagai alat pemerintah, sangat galak dan rajin menggonggong kepada kelompok oposisi dan orang-orang idealis di masyarakat. Juga menjadi alat legitimasi dari berbagai kebijakan pemerintah.
Salah satu cara yang digunakan oleh para pragmatis dengan menyebarluaskan berbagai “post-truth”, untuk menutupi kesalahan pemerintah. Mereka menukar prinsip kebenaran dengan menerima kompensasi berupa materi atau suatu fasilitas yang berharga dari pemerintah.
Dari itu kita dapat menilai, jika pemerintah memberikan lebih banyak ruang kepada para pragmatis dengan dalih demi menjaga stabilitas jalannya pemerintahanan dan kondusifitas dalam masyarakat, meskipun terjadi perbuatan penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum pejabat pemerintah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa orang-orang idealis seringkali merasa terpinggirkan, dicemooh dan merasa kesepian. Namun, mereka tetap teguh memegang integritas dan prinsip kebenaran mereka. Sementara itu, mereka yang pragmatis seringkali hanya peduli pada kepuasan pribadi dan kekayaan materi, bahkan jika itu berarti mereka harus menjilat dan memuja pemerintah.
Maka pertanyaan kita adalah, apakah benar-benar orang-orang idealis telah tergeser oleh para pragmatis? jawabannya adalah tidak benar-benar tergeser. Karena pada kesederhanaan orang idealis, dalam diri mereka adalah kebanggaan tetap memegang nilai-nilai luhur dan prinsip kebenaran, sedangkan pada kemewahan para pragmatis penjilat pemerintah, dalam dirinya sesungguhnya adalah suatu kehinaan.
Oleh :
Agung Surya Wirawan SH.
Forum Rogojampi Bersatu (FRB) – Banyuwangi