Banda Aceh,Aceh|jejakperistiwa.online,-Dikutip dari laman resmi DPP partai SIRA yang diposting oleh peureute SIRA,Selasa (09/05/2023) berikut ulasannya: Benar, Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Tetapi jangan lupa terus mengkaji, apakah ada perbedaan antara riba dan bank secara substansial mulai cara pinjam meminjam hingga pengambilan keuntungan.
Jika sekedar merubah nama agar dilihat islami atau syar’i tetapi substansinya justru lebih memberatkan konsumen dan masyarakat maka itu artinya sama dengan mendhalimi. Prinsip penegakan hukum Islam atau komponen hukum Islam tidak boleh menindas. Jika sekedar mengganti nama tetapi substansinya tidak berubah menjadi syar’i, termasuk pelayanan yang buruk dan merugikan konsumen maka itu tak lebih dari “membalut babi yang diharamkan dengan kulit sapi atau kulit domba atau kulit kerbau dan kulit onta agar disangka sapi, disangka domba, kerbau atau onta yang dihalalkan.”
Bank tidak terlepas dari konsep kapitalisme dan konsep ini juga masih tak bermasalah dengan prinsip Islam sebab aktifitas ekonomi memang bermodal untuk tujuan mendapat keuntungan, tetapi tak boleh menyakiti dan menindas salah satu pihak. Bahkan Islam memperkenalkan kapitalisme dengan ajaran yang sangat ideal. Banyak ayat Alquran tentang itu. Istilah kapitalisme hanyalah muncul di kemudian hari dengan penerapan yang tidak jarang memang ada yang tersakiti.
Sebagaimana juga Islam mendorong sosialisme dengan konsep zakat, sedekah, infak, hibah hingga sumbangan suka rela dan memberi makan kepada kaum fakir miskin dan semacamnya, bahkan membantu orang-orang yang terkena bencana. Sehingga tak perlu konsep sosialisme, apalagi komunisme yang kemudian dibangun manusia dan memang sering gagal dan memicu konflik.
Semestinya saat membawa nama Islam ke urusan politik, ekonomi dan urusan-urusan lain menyangkut kepentingan umat atau masyarakat mestilah lebih baik, lebih berkualitas, lebih bertanggungjawab, lebih bernilai dan bermanfaat dari segala sisi dari sebelumnya saat masih bersifat konvensional. Artinya substansi Islam yang membawa kebaikan, selain halal secara hukum, menempel pada nama dan praktiknya.
Wahai rakyat Aceh dan siapapun yang senang dengan syariat, jangan berhenti berfikir dan menerapkan nilai Islam dalam kehidupan secara benar, jangan sekedar terjebak dalam nama dan simbol. Cukupkanlah pengalaman masa lalu yang begitu pahit dan telah memberi kesimpulan berkali-kali tentang Aceh, siapa Aceh!
Bagaimana seorang Snouck Hugronye berhasil menipu dan melemahkan Aceh dengan trik menggunakan simbol agama, bahkan menipu para ulama dan dia cukup hanya belajar beberapa tahun saja ke Mekkah, lalu mampu mengalahkan ahli Islam yang mengaji puluhan tahun. Ingatlah bagaimana Aceh sering menipu diri juga karena kelemahannya sendiri yang sering sibuk mengurus kebun dan panggung orang lain tetapi membiarkan kebun sendiri dan panggung terdekat yang semula diperjuangkannya.
Bagaimana Aceh, saat menghadapi tokoh-tokoh luar yang datang ke Aceh bisa terpengaruh seketika saat mereka membaca surat Al Kausar dan surat Al Ikhalas, dua surat terpendek dalam Al Quran yang mudah dihafal dan diingat siapapun, bahkan non muslim sekalipun ada banyak yang menghafal kedua surat tersebut.
Memang tidak dapat dibantah, dalam urusan sosial politik— Aceh sering suka mengurus lahan politik yang jauh dari matanya dan setelah ditanam tak mendapat apa-apa. Ia mengecilkan lahannya yang diperjuangkannya sendiri hingga tak memiliki hasil apapun. Termasuk saat setiap Pilpres dan wakil rakyat misalnya, banyak yang menghabiskan waktu dan sibuk dengan Timses Pilpres tetapi melupakan bagaimana memilih wakil rakyat daerah dan pemimpin daerah yang layak yang sesungguhnya kebutuhan utama untuk perbaikan keadaan.
Aceh memang pelupa terhadap apa yang diperjuangkannya. Lalu marah dan memberontak saat-saat kehilangan hak dan kekhususannya.
Bisa jadi, jika partai-partai lokal tiba-tiba dihapus dalam undang-undang maka Aceh akan meributkannya kembali, bahkan memberontak lagi. Tetapi saat-saat sedang ada partai lokal untuk memfasilitasi keinginan Aceh menduduki kepemimpinan daerah dan perwakilan di daerah ternyata masyarakatnya belum mayoritas memilihnya. Ini adalah nyata dari pemilu 2009 sampai 2019 lalu.
Jika ada parlok disamakan dengan partai nasional karena saling bergabung visi misi, saling bekerjasama dalam banyak hal, tentu masih ada partai lokal murni seperti SIRA misalnya yang memfokuskan diri pada kepentingan Aceh.
Sebagai bahan introspeksi kritis dan otokritik, seyogyanya rakyat Aceh memperkuat memori apa yang pernah terjadi untuk perbaikan masa kini dan masa depan. Bukan sebagai romantisme, trauma, eforia dan bukan untuk balas dendam.
Selama intensitas perjuangan sipil dan referendum Aceh pada 1999-2005 hingga kemudian menjadi faktor penentu terkuat lahirnya perundingan damai yang dimediasi internasional serta meningkatnya perhatian internasional untuk Aceh, berkali-kali isu syariat telah dikampanyekan dengan memanfaatkan beberapa tokoh asal Aceh yang bermukim di Jakarta, Medan dan lain-lain. Juga beberap ormas Islam yang menjadi semacam agen pemerintah kala itu. Tujuannya bukanlah untuk syariat seperti dipesan oleh Alquran tetapi pembelokan perjuangan status politik Aceh. Namun isu syariat kala itu redam dengan gerakan perjuangan yang diorganisir GAM maupun SIRA. Tetapi pada faktanya syariat tetap berjalan secara alamiah tanpa berkoar-koar di simbol dan nama.
Hasil dari upaya pembelokan tersebut tentu saja senantiasa memanfaatkan orang-orang fanatik agama tetapi tak memiliki kemampuan detail, mendalam dan komprehensif tentang Islam. Konsekuensinya, Aceh tidak akan mencapai tujuannya secara berperadaban, selain bertarung dalam definisi pribadi yang terbatas dan tak terjangkau oleh ajaran Islam yang sesungguhnya.
Dalam nadi ekonomi, perbankan juga disyariatkan sekedar dengan nama dan simbol tetapi subtansinya tidaklah demikian. Dampaknya, penindasan ekonomi melampaui kejamnya penerapan konsep kapitalisme tanpa nilai agama terjadi. Bank syariat dalam praktiknya bisa menjadi sekedar “Bank Syari’ap (baca cari ‘ap),” yakni sekedar menjadi fasilitas cari makan dan raih untung pihak bank saja. Yang menanggung resiko hanya konsumen hingga ke peristiwa betapa buruknya pelayanan berkali-kali, juga ditanggung nasabah.
Inti dari semua itu adalah karena warga Aceh yang muslim ingin adanya nama Islam di setiap sudut daerahnya. Bukan memperjuangkan dan mengutamakan nilai Islam yang sesungguhnya wajib hadir dalam setiap sudut kehidupan dan pembangunan yang melahirkan kesejahteraan, kekuatan, kehebatan dan peradaban.
Tinggalkanlah hobi dan kebiasaan ingin dibohongi, ditindas dan dijajah orang lain. Karena hal itu adalah kelemahan. Ingatlah, para penindas, penghancur dan penjajah memulai misi mereka karena memahami hobi serta kebiasaan yang ada pada diri rakyat Aceh!
Semoga Allah SWT menganugerahkan ilmu dan petunjukNya kepada kita Aceh agar tidak mempermainkan agamaNya, juga rakyat Aceh tidak terus menerus mau dijebak dengan kepentingan dan rancangan/ desain pihak lain yang tidak ingin melihat Aceh yang maju dan berperadaban.(***)
Pewarta: Abdul Malek TR
Sumber:H. Muhammad Nazar
Ketua Majelis Tinggi Partai SIRA