Jadi Khotib Sholat Idul Adha, Ustadz Taufiq Gurahman Sampaikan Kisah Nabi Ibrahim As

banner 468x60

Lampung Tengah — Ribuan umat muslim Trimurjo Lingkungan 05 Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Provinsi Lampung, berbondong-bondong menghadiri Masjid Nurul Huda jln. Irigasi Punggur Utara RT 22 dalam rangka menunaikan sholat Idul Adha 1446H/bertepatan hari Jumat 06/06/2025.

18 ekor Kambing dan 1 ekor sapi kurban di masjid Nurul Huda Trimurjo

Berdasarkan hasil pelaporan Ketua Pengurus Masjid Nurul Huda Trimurjo Ustadz Hamim menyampaikan pada hari raya Idul Adha 1446H atau di tahun 2025 ini jumlah hewan kurban sebanyak 18 Ekor Kambing dan 1 ekor sapi.

“Alhamdulillah masyarakat semakin sadar tentang pentingnya kurban, dan semoga amalnya diterima oleh Allah SWT… Al Fatihah….”, ucapnya ustadz Hamim.

Bertepatan pukul 07.00 WIB sholat Idul Adha di mulai, sebagai imam ustadz Hamim, Khotib ustadz Taufiq Gurahman dan Bilal ustadz Saryono.

Dalam khutbah nya ustadz Taufiq Gurahman menyampaikan bahwa pada hari yang cerah ini dan sinar matahari yang terang menyinari bumi tepatnya 10 Dzulhijjah 1446 Hijriyah atau bertepatan dengan hari Jumat 06 Juni 2025 kita sama-sama melaksanakan sholat Idul Adha berjamaah di masjid Nurul Huda yang kita cintai.

Khutbah Idul Adha 2025 Tema Ikhlas Berkurban

Hadirin Jemaah Idul Adha yang dimuliakan Allah Swt.

Kita berkumpul dalam kebersamaan untuk menunaikan shalat Idul Adha, sebuah momen yang sangat istimewa dalam hidup kita sebagai umat Islam.

Baru saja kita bersujud dan ruku’, bukan sekadar rutinitas, tapi sebagai bentuk nyata ketundukan dan rasa hormat kita kepada Sang Pencipta. Kita mengumandangkan takbir dan tahmid, bukan hanya dari mulut, tapi dari lubuk hati yang paling dalam.

Ucapan “Allahu Akbar” yang terus menggema bukan hanya lantunan kata. Ini adalah getaran jiwa, suara hati seorang hamba yang benar-benar menyadari kebesaran Tuhan. Allah Maha Agung. Allah Maha Segalanya.

Tak ada yang layak disembah selain Dia. Maka dari itu, mari kita belajar untuk merendahkan hati di hadapan-Nya. Lepaskan rasa angkuh dan gengsi yang sering kali membuat kita jauh dari kasih sayang-Nya.

Hadirin Jemaah Idul Adha yang dimuliakan Allah Swt.

Hari ini juga dikenal sebagai Hari Raya Haji. Di saat kita berkumpul di sini, jutaan saudara kita tengah berwukuf di Padang Arafah, puncak ibadah haji yang sangat agung. Di sana, tak ada beda antara yang kaya dan miskin, pejabat atau rakyat biasa. Semuanya memakai kain putih sederhana, pakaian ihram, sebagai lambang bahwa kita semua sama di hadapan Allah.

Mereka berkumpul, berseru dalam kalimat talbiyah, mengikrarkan ketundukan dan kecintaan kepada-Nya. Dan dari peristiwa itu, kita belajar tentang makna persaudaraan, kesetaraan, dan semangat untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa memandang status atau jabatan.

Labaik Allahumma labaika La baika La Syarriika Laka Labaik

Saudara-saudaraku yang saya hormati,

Selain disebut Hari Raya Haji, hari ini juga dikenal dengan nama Idul Qurban, karena di dalamnya terkandung pesan besar tentang keikhlasan dalam berkorban. Kata qurban sendiri berarti “dekat”, dan inti dari ibadah ini adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan ternak, lalu membagikan dagingnya kepada mereka yang membutuhkan, kaum fakir dan miskin.

Tapi, qurban bukan cuma soal menyembelih hewan. Ia mengingatkan kita pada sebuah kisah luar biasa tentang pengorbanan, kesabaran, dan keteguhan iman. Kisah tentang Nabi Ibrahim, istrinya Siti Hajar, dan anaknya yang masih bayi, Ismail.

Suatu hari, Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah yang tidak mudah, membawa Hajar dan Ismail ke sebuah lembah gersang yang bahkan tidak ditumbuhi sebatang pohon pun, sunyi, tandus, dan jauh dari mana pun.

Bayangkan, tempat itu berada sekitar 1.600 kilometer dari tanah kelahiran mereka di Palestina. Tapi luar biasanya, mereka menerima perintah itu tanpa banyak tanya. Tidak protes, tidak ragu. Mereka pasrahkan diri mereka kepada Allah, dengan hati yang lapang dan keyakinan penuh.

Dan ketika air mulai habis, Siti Hajar, dengan anak kecil yang menangis karena haus di pelukannya, berlari bolak-balik antara dua bukit yang kita kenal sekarang sebagai Shafa dan Marwah. Ia tidak menyerah. Ia terus berusaha. Dan di saat keputusasaan hampir datang, pertolongan Allah tiba.

Malaikat Jibril diutus, dan dari tanah kering itu memancarlah air Zamzam, yang sampai hari ini tak pernah surut. Dari sana, kehidupan mulai tumbuh. Orang-orang mulai berdatangan.

Lembah tandus itu pun perlahan berubah jadi tempat yang ramai, makmur, dan diberkahi. Dan di sanalah, cikal bakal Kota Mekkah berdiri, berkat kesabaran seorang ayah, keikhlasan seorang ibu, dan kekuatan doa yang tidak pernah putus.

Allah sendiri menyebut kota itu sebagai kota yang aman dan sejahtera, seperti tertulis dalam Al-Qur’an. Semua bermula dari sebuah pengorbanan.

Wa iż qāla ibrāhīmu rabbij‘al hāżā baladan āminaw warzuq ahlahū minaṡ-ṡamarāti man āmana minhum billāhi wal-yaumil-ākhir(i)

Artinya:(Ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Makkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan (hasil tanaman, tumbuhan yang bisa dimakan) kepada penduduknya, yaitu orang yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari Akhir.” (QS Al-Baqarah: 126).

Setiap tahun, jutaan umat Islam datang menunaikan ibadah haji dan umrah. Mereka mendapatkan fasilitas yang memadai, transportasi, penginapan, layanan kesehatan, dan keamanan yang sangat terjaga. Semua ini adalah bagian dari kemajuan yang luar biasa, baik dalam hal ekonomi, tata kelola pemerintahan, maupun sistem hukum yang berjalan dengan baik.

Kemakmuran yang terjadi di Makkah hari ini bukan hanya dinikmati oleh kaum Muslimin. Bahkan mereka yang tidak beragama Islam pun ikut merasakan berkahnya.

Inilah bentuk nyata dari janji Allah, bahwa ketika doa dipanjatkan dengan tulus dan ikhlas, dan ketika usaha dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka pertolongan-Nya akan datang, dan datang dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Allah menegaskan semua ini dalam firman-Nya, sebagai pengingat bahwa kemakmuran sejati lahir dari ketakwaan, pengorbanan, dan doa yang terus dipanjatkan tanpa henti. Allah SWT berfirman:

qāla wa man kafara fa umatti‘uhū qalīlan ṡumma aḍṭarruhū ilā ‘ażābin-nār(i), wa bi’sal-maṣīr(u).

Artinya: Allah berfirman: Dia (Allah) berfirman, “Siapa yang kufur akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 126).

Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah,

Hari raya yang kita rayakan ini juga disebut Idul Nahr, yang berarti hari penyembelihan. Sebutan ini merujuk pada peristiwa luar biasa dalam sejarah kenabian, ketika seorang hamba Allah yang paling taat, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, diuji dengan cobaan yang sangat berat. Bukan hanya harta atau kekuasaan yang diuji darinya, tetapi juga sesuatu yang paling dicintai oleh manusia, anak kandungnya sendiri.

Kesabaran dan keteguhan hati yang luar biasa membuat Nabi Ibrahim dianugerahi sebuah kehormatan yang tidak dimiliki oleh banyak nabi, gelar sebagai kekasih Allah, atau Khalilullah.

Meski kehidupannya dikelilingi oleh kekayaan dan keluarga yang dicintainya, hatinya tetap berpaut kuat kepada Allah. Tak ada satu pun yang mampu menggeser posisi Allah dalam hatinya, tidak juga kesibukan duniawi yang sering kali membuat manusia lalai.

Dalam catatan para ulama, disebutkan bahwa Nabi Ibrahim memiliki kekayaan yang sangat besar, ribuan hewan ternak yang menjadikannya sosok terpandang di zamannya. Namun ia tidak pernah menjadikan hartanya sebagai penghalang dalam pengabdiannya kepada Allah.

Ia menyadari sepenuhnya bahwa semua yang dimiliki hanya titipan. Dan jika suatu saat Allah meminta kembali, ia siap untuk menyerahkannya, bahkan bila yang diminta adalah sesuatu yang paling berharga sekalipun.

Ujian terbesar datang saat ia diperintahkan melalui mimpi yang haq untuk mengorbankan putra yang masih kecil. Di usia yang baru tujuh tahun, putra itu menjadi bagian dari ujian keimanan yang sungguh tak terbayangkan.

Tapi karena keyakinan dan kepatuhan yang begitu dalam, Nabi Ibrahim menjalani perintah itu dengan penuh keikhlasan. Dan dari situlah, lahir ajaran qurban yang kita laksanakan hari ini.

Qurban bukan hanya penyembelihan hewan, melainkan simbol dari kerelaan melepaskan segala sesuatu yang menghalangi kita untuk lebih dekat kepada Allah. Ia adalah pengingat bahwa cinta sejati adalah ketika kita menempatkan Allah di atas segala-galanya, di atas harta, keluarga, dan bahkan diri sendiri.

Peristiwa itu dinyatakan dalam Al-Qur’an Surah As-Shoffat:102 :

qāla yā abatif‘al mā tu’mar(u), satajidunī in syā’allāhu minaṣ-ṣābirīn(a).

Artinya: Ibrahim berkata : “Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (QS As-shaffat: 102).

Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah,

Ketika Ibrahim dan putranya benar-benar telah bersiap untuk menunaikan perintah Tuhan, cobaan belum berakhir. Dalam detik-detik paling menentukan itu, ujian lain datang, kali ini dari musuh abadi manusia: iblis.

Ia menyusup di antara keraguan dan rasa sayang manusiawi yang alami. Ia berusaha menggoyahkan keyakinan, mendatangi Ibrahim, Hajar, dan bahkan Ismail, satu per satu, berharap ada di antara mereka yang goyah, membatalkan niat, atau sekadar ragu.

Namun tidak satu pun dari mereka goyah. Hati mereka sudah terlalu teguh, terlalu yakin bahwa tidak ada kebaikan yang lebih besar daripada taat kepada Allah. Bahkan dorongan emosional seorang ibu pun tidak lebih kuat dari keyakinannya kepada kebenaran wahyu.

Setan akhirnya terusir, dan simbol dari momen itu kini dikenang dalam rangkaian ibadah haji, saat para jamaah melempar jumrah di Mina, bukan semata simbolik, tetapi sebagai pengingat bahwa dalam hidup, godaan akan selalu datang di titik-titik paling genting.

Setelah sampai di tempat yang telah ditentukan, dan semuanya tampak tenang di permukaan, kenyataan yang akan mereka hadapi tidak kalah berat. Dalam ketundukan total, sang ayah membaringkan anak yang begitu dicintainya. Hati mungkin remuk, tapi jiwa mereka tetap tenang.

Di tengah kepasrahan itu, sang anak menunjukkan kedewasaan yang luar biasa. Ia mempersiapkan dirinya, tak hanya secara fisik, tetapi juga mental dan spiritual. Ia ingin agar proses itu berjalan dengan tenang, tanpa menyulitkan sang ayah, tanpa meninggalkan jejak luka yang lebih dalam dari yang sudah ada.

Namun sesuatu yang luar biasa terjadi. Ketika Ibrahim benar-benar siap menjalankan perintah itu, dan pisau telah menyentuh leher sang anak, tidak ada setitik luka pun. Pisau itu kehilangan ketajamannya, seolah menolak melukai.

Ternyata, pada saat itu, Allah memperlihatkan kepada para malaikat satu pemandangan yang tak bisa dijelaskan oleh logika: seorang ayah yang rela kehilangan anaknya demi ketaatan, dan seorang anak yang berserah penuh pada kehendak Tuhannya, tanpa sedikit pun perlawanan.

Kepatuhan seperti itu adalah sesuatu yang sangat langka, bahkan di antara para nabi. Dan ketika kehendak Allah berbicara, bahkan pisau pun tunduk. Ia tidak bekerja sebagaimana mestinya, bukan karena rusak atau tumpul, tetapi karena tidak mendapat izin dari Sang Pemilik segala keputusan.

Pisau itu bisa membelah batu, tapi tidak bisa melukai anak seorang nabi, karena perintah Allah adalah agar nyawa itu tetap hidup, agar kisah ini menjadi pelajaran sepanjang masa.

Ini bukan kisah tentang kekerasan. Ini adalah kisah tentang cinta, keikhlasan, dan kepatuhan yang melampaui batas naluri manusia biasa. Tentang bagaimana hubungan dengan Allah bisa mengalahkan segalanya, bahkan cinta yang paling dalam kepada anak sendiri.

Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an, pada Surah As-Shaffat ayat 107 hingga 110, sebagai pengakuan dari langit bahwa keikhlasan dan kepatuhan sejati selalu dibalas dengan kemurahan dan kasih sayang dari Tuhan.

Wa fadaināhu biżibḥin ‘aẓīm(in).

“Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar.” (QS. As-Shaffat:107)

Wa taraknā ‘alaihi fil-ākhirīn(a).

“Kami mengabadikan untuknya (pujian) pada orang-orang yang datang kemudian.” (QS. As-Shaffat:108)

Salāmun ‘alā ibrāhīm(a).

“Salam sejahtera atas Ibrahim.” (QS. As-Shaffat:109)

Każālika najzil-muḥsinīn(a).

“Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. As-Shaffat:110)

Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah,

Ketika puncak pengorbanan itu telah dijalani, dan langit serta bumi menjadi saksi atas ketaatan yang luar biasa antara seorang ayah dan anak, tampaklah keagungan Allah dalam peristiwa yang tak akan pernah dilupakan dalam sejarah umat manusia.

Malaikat Jibril yang kembali dari surga dengan membawa hewan pengganti, menyaksikan peristiwa itu dengan takjub. Kekaguman yang memuncak dari hatinya berubah menjadi seruan pujian atas kebesaran Allah, seruan yang kelak menjadi gema takbir yang kita ucapkan saat Idul Adha, dari masa ke masa, hingga hari ini.

Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah,

Di sanalah awal mula takbir yang kita kenal: pujian yang bukan hanya lantunan bibir, tetapi juga pantulan dari peristiwa agung yang menegaskan bahwa kepatuhan total kepada Allah adalah kemuliaan sejati. Bukan karena darah, bukan karena nyawa, melainkan karena hati yang bersih, niat yang tulus, dan pengorbanan yang ikhlas.

Shalat Idul Adha yang kita laksanakan pagi ini bukan sekadar ritual tahunan. Ia mengandung pesan yang dalam, bahwa semua manusia pada hakikatnya adalah sama. Yang membedakan bukan rupa, jabatan, atau harta, melainkan ketakwaan.

Bahkan dalam pelaksanaan ibadah haji, khususnya saat wukuf di Arafah, kita diingatkan tentang satu kenyataan besar yang akan dihadapi semua manusia: dikumpulkannya seluruh umat di Padang Mahsyar, tanpa sekat dan tanpa keistimewaan duniawi, untuk mempertanggungjawabkan hidup yang telah dijalani.

Dari kisah agung Ibrahim dan Ismail, dari ketegaran Hajar, kita juga bisa menarik pelajaran penting untuk kehidupan kita hari ini.

Pertama, bahwa orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk karakter anak. Mencetak pribadi yang beriman, yang menghormati orang tuanya, dan lebih dari itu, yang taat pada Allah dan Rasul-Nya adalah bentuk tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan.

Kedua, bahwa semua ketentuan Allah, apapun bentuknya, harus diterima dengan lapang dada dan tekad untuk patuh. Sebab semua yang diperintahkan oleh Allah sesungguhnya tidak pernah sia-sia, semuanya kembali sebagai manfaat dan keberkahan bagi hamba itu sendiri.

Jama’ah Idul Adha yang berbahagia,

Idul Adha juga menjadi waktu yang sangat tepat untuk menggugah nurani kita, bahwa semangat berkorban bukan hanya tentang menyembelih hewan ternak. Ini adalah ajakan untuk mempersembahkan yang terbaik bagi tanah air kita, bagi umat, dan bagi masa depan yang lebih bermartabat.

Di tengah berbagai kesulitan yang kita hadapi sebagai bangsa, semangat pengorbanan menjadi nilai yang sangat relevan dan penting untuk dihidupkan kembali.

Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim bukan hanya menjadikannya sosok besar dalam sejarah kenabian, tetapi juga menjadi tonggak lahirnya peradaban Islam.

Dari kesabaran dan pengorbanannya bersama Hajar dan Ismail, lahirlah Kota Makkah, berdirilah Ka’bah, mengalirlah air zamzam yang tak pernah kering, dan terwarislah nilai-nilai keimanan yang hari ini menjadi sumber kekuatan umat Islam di seluruh dunia.

Semoga perayaan Idul Adha tahun ini tidak hanya menjadi rutinitas, tapi menjadi momen penyadaran. Semoga ia mampu menumbuhkan semangat pengorbanan dalam diri kita, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga demi kemaslahatan agama, bangsa, dan negeri yang kita cintai. Amin, amin, amin ya Rabbal ‘Alamin

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *