Jejakperistiwa.Online, Jakarta – Ahli waris Da’am bin Nasairin Menggelar aksi unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menuntut segera memberikan haknya, Selasa (6/1/2024).
Mereka menuntut Ketua PN Jakarta Pusat untuk segera menetapkan dan mengeluarkan uang konsinyasi/gantiĀ rugi terkait pemakaian lahan seluas 32.000 meter persegi yang terkena proyek pembangunan jalan layang nontol di Jl Pramuka dan Jl Ahmad Yani, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Alian Safru, SH.MH selaku kuasa hukum ahli waris mengatakan akan terus menggelar aksi unjuk rasa samapai haknya diberikan kepada kliennya pasalnya kuasa hukum berserta ahli waris kecewa dengan hasil pertemuan dengan perwakilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Kami kecewa dengan selembar surat yang diberikan hari ini yang notabennya kami belum tau isinya apa, dan kami tidak akan berenti disini tetap akan menyuarakan hak klien kami, dalam hal ini kami akan mendampingi klien kami untuk berorasi sampai mereka-mereka yang terzolimi mendapatkan haknya,” terang Alian Safru di hadapan tekan rekan media.
Selain itu kuasa hukum menceritakan sebelumnya pada 2002 saat Pemprov DKI Jakarta membangun flyover Pramuka. Jalan layang itu dibangun untuk mengatasi masalah kemacetan yang terjadi di Jalan Pramuka dan Jalan Ahmad Yani di perbatasan Jakarta Pusat dan Jakarta Timur.
“Pembebasan lahan untuk proyek tersebut diduga terjadi masalah karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta diduga melakukan kesalahan pembayaran pada 2011.
Proyek jalan layang tersebut bersamaan dengan pembangunan kupingan agar kendaraan dari Cawang bisa belok ke kiri atau ke Jalan Pramuka.
Namun, pembangunan kupingan itu terhambat sekitar enam tahun karena terjadi sengketa antara dua pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan seluas 0,73 hektare di RT 12 RW 09 Kelurahan Utan Kayu Utara, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur.
Keduanya adalah Tatang (warga Cijeruk, Bogor) dan Keronih serta yang lainnya (warga Utan Kayu, Jakarta Timur).
Tatang telah menerima pembayaran ganti rugi pembebasan lahan sebesar Rp35 miliar dari Pemprov DKI pada 2011, sedangkan Keronih dan yang lainnya menempuh jalur hukum dan melaporkan Tatang atas sangkaan menggunakan dokumen palsu.
Dokumen palsu digunakan Tatang untuk menerima pembayaran pembebasan lahan dari Pemprov DKI.
Vonis hakim pada pertengahan Desember 2013 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Tatang telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman enam tahun penjara, pungkas Alian Safru.