Jurnalisme Terluka: Dari Pewarta Fakta Jadi Mesin Intimidasi

banner 468x60

 

Nasional  —  Jurnalisme di negeri ini sedang terluka. Profesi yang dulu dipandang mulia sebagai penyampai fakta, kini dicoreng oleh segelintir oknum yang menjadikannya mesin intimidasi. Dengan kartu pers di tangan, mereka berkeliling bukan untuk mencari berita, melainkan mencari mangsa. Ironis, ketika wartawan sejati berjuang menjaga idealisme, justru wajah profesi ini dirusak oleh mereka yang menjual ancaman demi uang bensin dan rokok.

 

Setiap kali dana BOS cair, sekolah-sekolah di negeri ini mendadak seperti arena sirkus. Bukan karena ada pertunjukan edukatif, tapi karena rombongan orang berlabel wartawan datang silih berganti: ada yang minta bensin, ada yang minta rokok, ada pula yang menyodorkan paket langganan media dengan harga selangit. Inilah jurnalisme gaya baru—bukan pewarta fakta, melainkan tukang tagih berkedok pers.

 

“Dari Silaturahmi Jadi Intimidasi”

 

Cobalah tanya para kepala sekolah. Setiap kali dana BOS cair, suasana jadi seperti “hunger games” lokal. Bukan sibuk menyiapkan pembelajaran, melainkan menghadapi tamu tak diundang yang mengaku wartawan.

 

Awalnya ramah, menanyakan program sekolah. Ujungnya? Menyodorkan paket langganan media dengan harga tidak masuk akal. Jika menolak, ancaman pun keluar: “Siap-siap viral!” atau “Mau dilaporkan ke aparat hukum”?

 

Apakah ini jurnalisme? Jelas bukan! Ini pemerasan sistematis berkedok pers.

 

 “Wartawan sejati adalah ‘Pewarta Fakta’, bukan pencari keuntungan instan.”

 

“Wartawan Bodrex dan Ninja: Sindiran yang Nyata”

 

Tak heran muncul istilah sinis wartawan Bodrex atau wartawan ninja. Mereka tiba-tiba datang hanya untuk menagih, lalu menghilang tanpa meninggalkan berita. Bahkan ada yang menjadikan wartawan sebagai profesi sambilan: pagi tukang parkir, siang wartawan, malam pawang hujan. Serba bisa, tapi bukan jurnalis sejati.

 

Apakah semudah itu menjadi wartawan hari ini? Cetak kartu pers di pojok jasa printing, hafalkan ancaman, lalu jadilah “pewarta”. Jika jawabannya iya, berarti profesi ini sedang benar-benar di ujung tanduk.

 

“Pendidikan Jadi Korban”

 

Dampaknya nyata: kepala sekolah yang mestinya fokus mendidik generasi bangsa malah sibuk menyisihkan uang untuk melayani “silaturahmi” abal-abal. Tidak sedikit yang akhirnya tergoda untuk menutupinya dengan cara-cara kotor. Maka rusaklah tidak hanya martabat jurnalisme, tetapi juga masa depan pendidikan.

 

“Negara Tak Boleh Diam”

 

Fenomena ini mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi pendidikan dari parasit. Pemerintah daerah dan aparat hukum tidak boleh lagi hanya menonton di pinggir lapangan. Beberapa langkah harus dilakukan:

 

1. Membentuk satgas khusus untuk memburu oknum wartawan abal-abal.

2. Memberi pelatihan hukum bagi kepala sekolah agar tahu cara menghadapi intimidasi.

3. Menindak tegas tanpa kompromi setiap kasus pemerasan berkedok jurnalisme.

4. Kolaborasi dengan Dewan Pers untuk memperketat verifikasi kartu pers.

 

“Tanpa jurnalisme bermartabat, negeri ini kehilangan salah satu penopang terpentingnya: yaitu kebenaran”.

 

“Mengembalikan Marwah Jurnalisme”

 

Saya ingin menegaskan: jurnalisme bukan pemerasan! Wartawan sejati adalah pewarta fakta, bukan pencari keuntungan instan. Jika fenomena ini terus dibiarkan, kita bukan hanya kehilangan martabat profesi, tetapi juga meracuni masa depan bangsa. Kamis, 28/08/2025.

 

Sudah cukup! Mari bersihkan profesi ini dari parasit yang menodai. Karena tanpa jurnalisme yang bermartabat, negeri ini akan kehilangan salah satu penopang terpentingnya: kebenaran.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *