TANJUNG PINANG — JejakPeristiwa.Online
Sengketa lahan di kawasan industri strategis Bintan Inti Industrial Estate (BIIE) Lobam kembali menggelegar dan menyeret nama PT Surya Bangun Pertiwi (SBP) ke meja hijau. Perusahaan yang sejak lama mengelola kawasan industri tersebut digugat oleh ahli waris almarhum Bachtiar Ali karena diduga tak pernah membayar pembebasan lahan seluas 5 hektare sejak tahun 1991. Gugatan itu kini resmi disidangkan di PN Tanjung Pinang dengan Nomor 40/Pdt.G/2025/PN Tpg.
Hakim Turun Gunung: Objek Sengketa Disusuri Satu per Satu
Pengadilan Negeri Tanjung Pinang hari ini menggelar Pemeriksaan Setempat (PS)—langkah hukum penting yang kerap menentukan arah sebuah perkara tanah. Majelis Hakim bersama Panitera Pengganti memeriksa langsung batas, kontur, dan posisi lahan yang diklaim milik ahli waris.
Hasil pantauan lapangan semakin memantik perhatian, mengingat di atas lahan yang disengketakan kini berdiri Kantor BIIE/Wisma BIIE serta beberapa bangunan pabrik aktif.
Riwayat Tanah Tidak Sederhana: Dari Surat Tebas 1975 Hingga Pembayaran IPEDA
Kuasa hukum penggugat, Rahmad Sukri Hasibuan, S.H., M.H., dalam keterangannya menyebut lahan tersebut bukan tanah kosong tanpa riwayat. Pewarisnya, almarhum Bachtiar Ali—mantan Kepala Bea Cukai Batam tahun 1975—memperoleh tanah itu dari almarhum Abdullah Wirafan melalui surat tebas.
Mulai 1981, lahan itu diolah untuk penambangan pasir dan tercatat membayar IPEDA kepada Pemerintah Kabupaten Kepri hingga 1988. Dengan catatan sejarah ini, penggugat menilai hak penguasaan mereka sangat jelas.
Namun tahun 1991 menjadi titik gelap. Saat PT SBP melakukan program pembebasan lahan di kawasan Lobam, seluruh tanah milik warga dibayar—kecuali lahan penggugat.
“Hingga hari ini tidak ada satu rupiah pun yang diterima klien kami. Tetapi bangunan-bangunan mewah itu berdiri di atas tanah mereka,” ujar Rahmad dengan nada tegas.
Somasi Berulang Tapi Tak Dijawab: Indikasi Pembiaran atau Taktik?
Menurut Rahmad, pihaknya telah berkali-kali mengirimkan surat somasi dan permohonan mediasi kepada PT SBP. Namun seluruhnya bagai hilang di telan bumi—tak pernah dibalas, tak pernah ditanggapi.
Sikap bungkam perusahaan inilah yang dinilai meresahkan, karena membuka dugaan bahwa “proyek pembangunan” dijadikan tameng untuk praktik perampasan lahan yang terstruktur.
“Ini peringatan bagi para mafia tanah. Pembangunan itu wajib, tapi bukan alasan untuk menginjak hak rakyat. Undang-Undang Pokok Agraria harus ditegakkan,” tegasnya.
Perkara Mulai Menajam: Dua Saksi Kunci Siap Dibuka di Persidangan
Sidang berikutnya pada Kamis, 11 Desember 2025, dijadwalkan menghadirkan dua saksi penting:
Saksi sepadan, yang mengetahui batas-batas lahan secara faktual,
Saksi pekerja pasir tahun 1985, yang pernah bekerja langsung di lokasi.
Keterangan dua saksi ini diyakini akan memperkuat mata rantai penguasaan fisik lahan sejak era 1980-an.
Rahmad: Media Harus Kawal Ini Bukan Sengketa Biasa
Menutup keterangannya, Rahmad menegaskan bahwa kasus ini tidak boleh dipandang sebagai sengketa perdata biasa, mengingat skala dampaknya yang menyentuh kepastian hukum kawasan industri besar.
“Kami minta media jangan lepaskan perhatian. Ada kepentingan publik yang besar, dan kami siap mengungkap semuanya di pengadilan,” ujarnya.
Pewarta: Sajar Hasibuan











