Mojokerto – Praktisi hukum dari Adil Bangsa Yustisia, Sarifudin, SH, angkat bicara terkait meningkatnya kasus ancaman dan tekanan terhadap wartawan di berbagai daerah. Setelah kasus di Lampung Selatan, kini situasi serupa kembali terjadi di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Menurut Sarifudin, tindakan mengintimidasi wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 4 ayat (2) dan (3) yang menjamin kemerdekaan pers dan melarang segala bentuk ancaman atau kekerasan terhadap jurnalis.
“Ini sudah bukan sekadar persoalan sengketa pemberitaan, tapi ancaman nyata terhadap demokrasi dan kemerdekaan pers. Siapa pun yang menghalangi tugas wartawan, dapat dijerat pidana sesuai Pasal 18 ayat (1) UU Pers,” tegas Sarifudin, Kamis (13/11/2025).
Kasus terbaru menimpa Harianto, wartawan media daring Bedahkasus.co.id, yang mendapat ancaman setelah menerbitkan laporan investigasi dugaan penyimpangan Dana Bantuan Keuangan Desa (BK Desa) di sejumlah desa di Kabupaten Mojokerto.
Dalam laporannya, Harianto mengungkap adanya indikasi proyek fisik yang dijalankan sebelum dana BK Desa resmi cair, yang jelas bertentangan dengan Surat Edaran Pemkab Mojokerto Nomor 410/9055/416-021/2025, yang mewajibkan seluruh desa menunggu proses pencairan dan pengadaan tuntas.
Namun alih-alih ditindaklanjuti sebagai temuan publik, Harianto justru mendapat ancaman dari seseorang berinisial MM, yang mengaku sebagai anggota LSM dan menuding pemberitaan itu tidak layak tayang. MM bahkan menantang wartawan tersebut untuk “menyelesaikan masalah di pengadilan”.
“Saya hanya menjalankan fungsi kontrol sosial. Tapi justru saya yang ditekan dan diancam dilaporkan,” ungkap Harianto dengan nada kecewa.
Peristiwa ini mendapat kecaman luas dari berbagai kalangan media. Ketua Umum Dewan Pers Nusantara APKWSI, Agus Gunawan SH MH, menilai tindakan intimidatif seperti ini sebagai serangan langsung terhadap prinsip kebebasan pers.
“Kami mengecam segala bentuk upaya membungkam jurnalis. Pers memiliki peran penting mengawasi jalannya pemerintahan. Jika wartawan diancam karena menulis kebenaran, maka yang terancam sebenarnya adalah demokrasi,” ujarnya.
Sarifuddin menegaskan, aparat penegak hukum tidak boleh abai terhadap setiap bentuk ancaman terhadap insan pers. Ia menyerukan agar kepolisian segera menindak setiap pelaku yang berupaya menghalangi kerja wartawan, sebab tugas jurnalis dilindungi undang-undang.
“Negara harus hadir melindungi jurnalis, bukan membiarkan mereka berjuang sendiri di bawah tekanan. Pers bebas adalah syarat mutlak negara demokrasi,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa kebebasan pers di Indonesia masih menghadapi ancaman nyata, terutama ketika kepentingan pribadi dan politik mencoba membungkam suara kebenaran.











